Haul satu Syarat Wajib Zakat
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sudah dimaklumi bahwa zakat wajib atas setiap muslim yang merdeka dan tentunya memiliki syarat-syarat agar jelas kategori yang wajib berzakat. Para ulama menetapkan lima syarat kewajiban zakat pada seseorang, yaitu:
- Islam
Zakat hanya diambil dari kaum muslimin dan tidak diambil dari kaum kafir dan tidak diterima dari mereka, baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allah :
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. (Qs at-taubah : 54).
Hal ini juga pesan Rasulullah ketika mengutus Mu’adz bin Yaman ke Yaman dengan mendakwahi mereka dahulu untuk masuk islam baru memerintahkan mereka membayar zakat. Dengan demikian jelas bahwa islam adalah syarat wajib zakat. (lihat Hasyiyah Ibnu Qaasim atas Raudh al-Murbi’ 3/166).
- Merdeka.
Zakat tidak diwajibkan kepada hamba sahaya; karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya, berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bin al-khathab beliau berkata:
يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ((مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ))
Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: bersabda: siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Siapa yang membeli budak sahaya dan ia memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. (Muttafaqun ‘Alaihi). Demikian juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu :
لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ
Tidak ada pada harta seorang budak kewajiban zakat hingga dimerdekakan.
- Memiliki Nishab.
Seorang muslim yang merdeka diwajibkan berzakat apabila memiliki harta yang mencapai nishab. Nishab adalah ukuran standar yang ditetapkan syariat untuk kewajiban zakat. Nishab ini berbeda-beda sesuai dengan jenis harta zakatnya.
Syarat nishab ini diambil dari dasar hadits-hadits Nabi , diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi bahwa beliau bersabda:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ
Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq dan yang tidak mencapai lima ekor dari onta serta yang tidak mencapai lima auqiyah (Muttafaqun ‘alaihi)
Apabila seorang muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishab maka tidak diwajibkan berzakat
- Pemilikan harta secara penuh (اسْتِقْرَارُ الْمِلْكِ)
Maksudnya adalah seorang tersebut memiliki harta secara penuh sehingga diperbolehkan beraktivitas dengannya dan tidak ada hubungan dengan hak orang lain.
Sehingga tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan pada hutang pembebasan budak, karena ia tidak memilikinya secara penuh. Seorang tuan (majikan) apabila menerima penebusan kemerdekan hamba sahayanya (al-Mukaatabah) dengan sejumlah uang dan uang tersebut belum dapat dilunasi oleh sang budak tersebut selama setahun, maka tidak ada zakat pada harta tersebut; karena budak tersebut bila tidak mampu dan menyerah dalam penunaiannya. Maka harta tersebut gugur dan menjadi harta yang tidak dapat dimiliki secara penuh.
Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak pada orang tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf tertentu seperti wakaf untuk keluarga fulan maka ada padanya zakat selama memenuhi kriteria yang lainnya.
- Berlalu setahun lamanya.
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi diantaranya hadits ‘Aisyah yang berbunyi:
يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ((لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ))
Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Ibnu Majah no. 1792 dan dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Maajah 2/98). Juga hadits Ali yang berbunyi:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Dari nabi beliau bersabda: Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Abu daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud 1/346). Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Rasulullah bersabda: Siapa yang memanfaatkan harta maka tidak ada zakatnya hingga berlalu atasnya setahun (HR at-Tirmidzi dalam sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih sunan at-tirmidzi 1/348).
Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya dua belas bulan dari kepemilikannya.
Syarat ini hanya berlaku sebagai syarat wajib zakat pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (atsmaan) dan zakat barang perdagangan.
Yang Tidak Disyaratkan Haul.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun, yaitu:
- Al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % atau 5 %. Ini ada pada zakat hasil pertanian dan perkebunan; karena diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Hal ini berdasarkan firman Allah :
كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖٓ اِذَآ اَثْمَرَ وَاٰتُوْا حَقَّهٗ يَوْمَ حَصَادِهٖۖ
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); (Qs al-‘An’am :141).
- Anak hewan ternak karena haul (ukuran setahun) anak-anak hewan ternak tersebut mengikuti induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab. Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu lahir dalam setahun tersebut dari setiap kambing tersebut dua kecuali seekor melahirkan tiga. Maka jumlah keseluruhannya 40 ekor induk ditambah delapan puluh satu ekor anak kambing sehingga menjadi seratus dua puluh satu ekor. Maka dikenakan zakat dua ekor kambing. Walaupun delapan puluh satu kambing tersebut belum genap satu tahun.
Contoh lain: seorang memiliki 120 ekor kambing, maka diwajibkan zakat 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia diwajibkan membayar 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.
Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, maka permulaan haulnya dari kesempurnaan nishab dengan anak-anak yang lahir tersebut. Contohnya seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu lahirlah dari kambing-kambing tersebut sepuluh ekor anak kambing. Maka dihitung setelah genap empat puluh ekor kambing tersebut sebagai awal hitungan haul.
- Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nishab dan berlalu satu tahun. Seandainya seorang memiliki uang mencapai nishab dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan maka dikenakan seluruh harta tersebut; uang (modal) dan keuntungannya walaupun keuntungannya tersebut dicapai di akhir tahun. Contohnya: seorang membuka toko dengan modal 30 juta di bulan Muharram 1431 H. Nilai nishabnya misalnya 85 gram emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000;. kemudian di bulan Muharram tersebut mendapat keuntungan Rp. 3.000.000; dan di bulan shafar Rp. 2.000.000; dan seterusnya sehingga dibulan Muharram 1432 H didapatkan modal dan keuntungannya berjumlah Rp. 75.000.000; Maka dikeluarkan zakatnya 2,5 % dari Rp. 75.000.000; Sehingga total zakat yang harus dikeluarkan adalah Rp. 1.875.000.
Apabila modalnya belum mencapai nishab kemudian mendapatkan keuntungan maka dimulai hitungan haulnya ketika sempurna nishabnya.
- Rikaaz atau harta karun adalah harta yang terpendam dari peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta karun ini dibayarkan zakatnya ketika ditemukan dengan dasar sabda Rasulullah :
فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ
Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). (Muttafaqun ‘Alaihi). Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya
- Tambang (al-Mi’dan) yaitu semua yang keluar dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat didalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-Yaquut), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang mencapai nishab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 % .
Imam al-Khiraqi menyatakan: Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas dua puluh mitsqaal atau perak sejumlah dua ratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (eksploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat di waktunya.
Terputusnya Haul
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
- Apabila nishab berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishab dalam setahun adalah syarat wajib zakat.
- Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan dua syarat:
- Pembayaran tidak sejenis
- Bukan karena takut terkena zakat
- Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.
Maka tidak diwajibkan zakat padanya. Contohnya: seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.
- Apabila harta yang sudah masuk nishab diganti dengan jenis lain di tengah-tengah haul bukan karena lari dari kewajiban zakat maka terputuslah al-Haul. Contohnya seorang memiliki 40 ekor kambing dan ini sudah masuk nishab. Lalu sebelum setahun masa nishab tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi tersebut dimulai pada hari pergantian bila masuk nishab onta atau sapi tersebut.
Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nishab (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Romadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H.
Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nishab dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan pendapat ini dapat dijelaskan berikut ini:
- Apabila dijual atau ditukar harta zakat yang senishab dengan harta lain yang juga senishab atau lebih namun masih sejenis maka haulnya dihitung berdasarkan nishab yang pertama, sehingga dizakati apabila sempurna setahun (al-Haul). Inilah pendapat imam Maalik dan Ahmad. Pendapat ini disepakati oleh imam Abu hanifah pada barang berharga (al-Atsmaan). Sedangkan dalam komoditi perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual beli.
- Apabila harta zakat yang sudah senishab ditukar atau dijual dengan harta zakat senishab atau lebih dari selain jenisnya maka terputuslah perhitungan haul dan memulai haul baru, kecuali pada emas dengan perak atau sebaliknya ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pertama menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirojihkan penulis kitab Zaad al-Mustaqni’, karena emas dan perak adalah harta yang sama sehingga seperti satu harta. Kedua menyatakan terputus haulnya dan tidak digabung antara emas dan perak, karena keduanya adalah dua jenis yang berlainan sebagaimana disampaikan Rasulullah dalam sabda beliau:
((الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ)) [مسلم, برقم 1587]
Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian apabila kontan. (Muslim 1587).
Pendapat keduan ini dirojihkan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 6/44.
- Sedangkan imam asy-Syafi’i berpendapat haul satu harta yang telah senishab tidak dibangun diatas haul lagi sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasulullah :
((لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ))
Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya (HR Ibnu Majah no. 1792 dan dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Maajah 2/98). Hal ini dibantah oleh Ibnu Qudamah dengan pernyataan beliau: yang menguatkan pendapat kami adalah harta yang telah senishab akan digabungkan dengan pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul penggantinya dari jenis yang sama dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi perniagaan. Hadits di atas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiyaskan (analogikan) permasalahan ini kepadanya.
- Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila harta zakat yang senishab dijual dengan harta senishab yang baru maka haulnya dibangun diatas perhitungan haul pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini dirojihkan oleh syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t . beliau berkata: yang benar adalah pendapat dari madzhab Ahmad yang menyatakan bahwa pertukaran nishab harta zakat dengan nishab harta zakat lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik ia adalah sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara sejenis dan tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu rekayasa untuk menghindari zakat.
Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.
Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka haul keuntungan tersebut dihitung dengan dasar haul asalnya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada sesuai harga yang ada tersebut.
Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan amilnya.
Wabillahittaufiq.